Salah satu cara paling sederhana, namun paling menyakitkan untuk mengobati rindu padamu adalah membaca tulisan-tulisanmu.
Setiap huruf yang kau rangkai, setiap kalimat yang kau susun—semuanya seperti potongan dirimu yang tertinggal di sana.
Ada cerita perjuanganmu ketika menyusun tesis.
Ada kamu di balik kata-kata yang kini hanya bisa kubaca, bukan lagi kudengar langsung dari bibirmu.
Aku rindu.
Rindu kamu yang dulu.
Kamu yang diskusi bersamaku, membicarakan apapun hal-hal yang random.
Kamu yang tertawa saat aku tidak sengaja berbicara bahasa Sunda.
Kamu yang mencintai dunia yang sama denganku—dunia kata, dunia sunyi yang penuh suara.
Kupikir, satu hobi yang kita miliki adalah pertanda.
Pertanda bahwa semesta sedang menyatukan dua jiwa yang selaras.
Kupikir, dengan mencintai hal yang sama, kita akan saling mencintai selamanya.
Tapi ternyata aku salah.
Satu hobi tidak bisa menyatukan dua hati yang tak saling memahami.
Satu hobi tidak cukup ketika keheningan mulai menggantikan obrolan,
ketika kata-kata kehilangan makna karena tidak lagi ditujukan satu sama lain.
Kita bisa mencintai hal yang sama, tapi tetap merasa asing satu sama lain.
Kini, aku hanya bisa menatap tulisanmu dalam diam,
berharap rindu ini bisa luluh meski sedikit.
Berharap kenangan yang kita ciptakan lewat kata-kata bisa tetap hidup,
meski kita sendiri perlahan mati dalam cerita yang pernah kita mulai bersama.
Mungkin benar, tidak semua yang sama bisa bersatu.
Dan tidak semua yang rindu bisa kembali.
Tapi tetap saja...
Membaca tulisanmu adalah caraku untuk merasakan kehadiranmu—meski hanya sebentar, meski hanya semu.
Komentar
Posting Komentar