Langsung ke konten utama

Pria matang atau setengah matang?

Sore itu, gue duduk di warung kopi Jogja, menikmati segelas teh manis yang masih mengepul. Mbok warung nanya karena gue beli indomie rebus pakai telur tapi jangan pakai bawang goreng, "Mau mateng atau setengah mateng, Neng?" Gue langsung jawab, "Mateng aja, buk, soalnya selera saya mas-mas Jawa matang yang kalau dipanggil jawabnya dalam, sayang."sambil nada bercanda, yang langsung diketawain sama temen-temen gue. ANG ANG ANG. [Eh btw gue cuma bercanda aja ya, gue sih gak milih harus suku apa. Asalkan sukunya jangan rorombeheun wae lah ya!] 

Hidup ini kadang kayak pesenan telur di warkop. Ada yang lebih suka setengah matang, ada yang maunya mateng. Sama kayak pilihan hidup, ada yang masih ragu-ragu, ada yang udah yakin melangkah. Gue sih, kalau soal pilihan, maunya yang pasti-pasti aja.

Kata orang, hidup itu harus dijalani dengan santai. Tapi gimana mau santai kalau tiap hari harus mikirin kerjaan, nulis apa lagi ya buat blogspot, sama chat yang cuma dibaca tanpa dibalas eh bahkan akun sosial media yang udah di blokir? Kadang gue mikir, jadi kucing enak kali ya, makan, tidur, manja-manja, selesai.

Pernah nggak sih, kepikiran kalau kita ini sebenarnya cuma NPC dalam game orang lain? Kita sibuk ngejalanin hidup, tapi tetap aja kayak nggak punya kontrol penuh. Yang beneran punya kontrol kayaknya cuma orang-orang yang bisa bangun pagi tanpa snooze alarm.

Ngomongin pagi, gue heran sama orang yang bisa langsung semangat setelah bangun tidur. Gue kalau pagi, mata udah kebuka, tapi jiwa masih loading. Apalagi kalau ngaji, suara parau dan serak. 

Kadang gue pengen jadi orang yang punya hidup terencana. Bangun pagi olahraga, sarapan pakai roti dan sayur, terus berangkat dan pulang kerja bareng suami. Tapi kenyataannya, gue? Ya beda jauhlah ya, bangun pagi dan jarang olahraga. Gimana sih katanya goals 2025 mau hidup sehat dan turun berat badan? Xixi.

Gue yakin, kita semua pernah ngalamin momen overthinking sebelum tidur. Awalnya cuma mau merem, tapi tiba-tiba inget hal memalukan yang kejadian bertahun-tahun lalu. Kenapa otak suka banget muter ulang memori yang nggak perlu?

Gue jadi inget momen memalukan itu pas lagi jatuh di dalam kereta, sumpah bayangin pas gue jatuh ada cowok cakep lagi lihatin. Cuy, sakitnya engga seberapa tapi malunya~ muka gue mau disimpen dimana (?) :"( [ini kebayang mulu pas sebulan itu tiap mau tidur]

Terussss>>>

Dulu waktu kecil, gue pengen cepet gede. Sekarang udah gede, malah pengen balik ke masa kecil. Dulu masalah paling besar cuma PR Matematika, sekarang harus mikirin gajihan kapan cair dan kapan nikah ya?

Masalah perasaan juga nggak kalah ribet. Udah chat tiap hari, ngobrol panjang lebar, tapi statusnya masih “cuma temenan.” Kadang gue mikir, mungkin hubungan ini juga setengah matang. Udah ada rasanya, tapi nggak jelas akhirnya ke mana.

Kalau dipikir-pikir, hidup kita ini kayak playlist shuffle. Kadang lagu happy, kadang mellow, tiba-tiba dangdut. Semuanya nggak bisa ditebak, dan kita cuma bisa jalanin sambil berharap lagunya enak didenger.

Orang sering bilang, Gen Z itu generasi yang mageran. Padahal kita bukan malas, kita cuma efisien. Kalau bisa nyari solusi lebih cepat dan gampang, kenapa harus ribet? Work smarter, not harder, kan?

Lingkaran pertemanan juga makin mengecil seiring waktu. Bukan karena kita nggak mau temenan, tapi karena energi sosial makin terbatas. Kadang weekend lebih menarik buat rebahan daripada nongkrong sampai tengah malam.

Ada saatnya kita berpikir, dunia ini absurd. Tapi yang lebih absurd lagi, kita tetap harus pura-pura waras di dalamnya. Mau nggak mau, kita harus belajar ngakak meskipun hati sebenarnya lelah.

Hidup ini kayak Twitter, kadang isinya curhatan nggak jelas, kadang penuh teori konspirasi. Tapi di antara semua itu, ada juga momen-momen kecil yang bikin kita bersyukur.

Salah satu skill penting di era digital ini adalah pura-pura nggak lihat story orang yang sengaja dibuat buat mancing perhatian. Kita lihat, tapi tetap stay cool. Biar harga diri tetap terjaga.

Kalau dipikir-pikir, kita ini kayak HP yang baterainya tinggal 1%, tapi tetap dipaksa nyala tanpa charger. Mau mati gaya, tapi masih harus bertahan.

Hari-hari berjalan cepat banget. Rasanya baru kemarin Januari, tahu-tahu udah selesai lebaran. Btw jangan lupa ngodoin puasa yang bocor kemarin cuy! Waktu berjalan tanpa bisa di-pause, beda sama video YouTube yang bisa di-rewind.

Nggak semua orang tahu arah hidupnya, dan itu nggak apa-apa. Kadang kita cuma perlu jalan terus dan lihat ke mana kaki membawa kita. Yang penting tetap berjalan, meskipun langkahnya pelan.

Hmm, hidup nggak selalu gampang, tapi kalau ada teman buat diajak ketawa, semuanya jadi lebih ringan. Jadi, jalani aja lah yaks hidup ini, meskipun dunia makin sepi karena gak punya doi WKWKWK. Yang penting tetap waras dan jangan lupa sarapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Cinta Untuk Calon Suami

Assalamualaikum, calon imam. Setahun yang lalu, tepat tanggal 1 November 2022 aku membuat tulisan yang berjudul ‘Dear, Future Husband’. Di tanggal yang sama namun tahun yang berbeda aku kembali menulis surat untuk kamu, yang akan menjadi imamku kelak. Kamu masih ingat, kan? Panggilan yang akan aku sebut padamu adalah Abang. Apa kabarnya Abang di sana? Setelah setahun aku membuat tulisan itu, ternyata kita masih belum Allah takdirkan untuk bertemu sekarang. Membuat diriku penasaran sekaligus bertanya-tanya dalam hati, “ Siapa yang akan menjadi imamku kelak ?”. Rasa penasaran itu semakin membesar, sehingga aku selalu bersholawat dan berdoa untuk kamu, semoga kamu selalu dalam keadaan baik dan Allah semakin cepat mempertemukan kita. Abang, selama setahun ini banyak sekali pengalaman yang telah aku lalui sebelum bersamamu. Aku bisa menyelesaikan sarjana ke-1 di UPI. Seusai wisuda bulan Oktober, selama 2 bulan menganggur, aku merasa tekanan batin karena ada beberapa faktor yang tida...

Bermuara

Di usia segini, banyak hal yang membuat berpikir lebih dalam. Masa depan terasa dekat, tetapi juga penuh dengan tanda tanya. Rasanya seperti berdiri di tepi pantai, melihat kapal yang siap berlayar, tapi masih ragu apakah benar ini waktu yang tepat untuk berangkat. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala. Apakah perjalanan ini akan berjalan lancar? Apakah ada badai di tengah laut? Apakah kapal ini cukup kuat untuk menghadapi ombak? Kekhawatiran datang silih berganti, membuat langkah terasa berat. Dalam hidup, keputusan besar sering kali datang tanpa aba-aba. Kadang, ada rasa takut jika memilih jalan yang salah. Namun, tidak ada yang bisa memastikan mana yang benar dan mana yang tidak, kecuali dengan mencoba. Karena itu, sejak awal, lebih banyak menggunakan logika. Bukan berarti hati tidak berperan, tetapi jika terlalu terbawa perasaan, perjalanan bisa menjadi tidak menentu. Logika membantu melihat segala kemungkinan dengan lebih jelas dan menyiapkan rencana cadangan jika sesu...

Apakah Pendidikan Tinggi bagi Perempuan untuk Menyaingi Laki-laki?

Pendidikan adalah hak setiap individu, tanpa memandang gender, dan merupakan sarana untuk mengembangkan potensi, memperluas wawasan, serta memperoleh keterampilan yang berguna dalam kehidupan. Dengan pendidikan, perempuan dapat lebih mandiri dalam berpikir dan bertindak, serta memiliki kepercayaan diri yang lebih besar dalam menghadapi berbagai tantangan. Pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah sarana untuk menyaingi laki-laki, melainkan untuk memberdayakan diri dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat. Dalam era modern, perempuan memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi intelektualnya, menggali ilmu pengetahuan, serta meningkatkan kualitas hidupnya. Pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang memperluas wawasan, membangun karakter, dan meningkatkan kemampuan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan lebih besar untuk mengambil keputusan yang bijak dalam kehidupan pribadi, keluarga, ...